Jumat, 04 November 2011

ANALISIS PUISI TEMA PERJUANGAN

 
DIPONEGORO
Chairil Anwar

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

(Februari 1943)
Budaya, Th III, No. 8, Agustus 1954

Makna Esensial : Puisi Diponegoro menggambarkan perjuangan dimasa pembangunan, dimana jiwa Diponegoro hidup kembali dalam diri para pejuang, yaitu jiwa keberanian untuk melawan penjajah. Sehingga, biarpun “Lawan banyaknya seratus kali” dan meskipun hanya bersenjatakan “Pedang di kanan, keris di kiri”, tetapi dengan “Berselempang semangat yang tidak bisa mati” mereka tetap “maju”, meskipun “Ini barisan tak bergenderang berpalu”, tetapi “kepercayaan tanda menyerbu” untuk mengusir penjajah, yang meskipun mungkin mereka (pejuang) harus mati tetapi telah berhasil memberi arti pada hidup ini, bahwa hidup adalah perjuangan.
Kata Kunci     : Kata kunci dalam puisi Diponegoro yaitu ‘tuan’ karena diulang dua kali, yaitu pada bait pertama dan bait kedua. Kata ‘tuan’ pada bait pertama menggambarkan adanya generasi baru yang memiliki semangat berkobar, layaknya Diponegoro. Bait kedua menggambarkan, Diponegoro memimpin pasukan dengan semangat yang tak pernah mati.
Kata Inti         : Kata inti pada puisi Diponegoro terdapat pada kata ‘semangat’, ‘maju’, ‘serbu’, ‘serang’, dan ‘terjang’.
                     Kata ‘semangat’ dalam puisi di atas artinya menggambarkan kemauan yang kuat untuk menggapai kemerdekaan. Kata ‘serbu’, ‘serang’, dan ‘terjang’ menggambarkan aba-aba bagi mereka yang berada di medan perang untuk mulai berperang.


KARAWANG BEKASI
Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi


Makna            : Puisi Karawang-Bekasi merupakan puisi yang dibuat pada tahun 1946 oleh Chairi Anwar setelah ia mendapatkan inspirasi dari kejadian di antara kota Karawang dan Bekasi. Puisi ini menceritakan perjuangan para pejuang bangsa dalam menghadapi musuh dan menjaga tokoh negara. Banyak pejuang yang gugur dalam usaha menciptakan perdamaian dan upaya memperoleh kemerdekaan.  Puisi ini merupakan suara jiwa pahlawan dengan semangat kepahlawanannya yang gugur di medan laga. Semangat yang menggelorakan semangat para pejuang  demi membela dan mewujudkan kemerdekaan. Hal itu dapat dilihat dari kata : “Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi”. Kata “Merdeka” dan angkat senjata lagi mempunyai pengertian sebuah penjuangan untuk kebebasan mengatur negerinya sendiri. Salah satunya cara untuk mencapai cita-cita tersebut adalah dengan angkat senjata yaitu dengan jalan “Perang”. Pada kalimat lain nampak jelas kalau tema yang diangkat pada “Krawang-Bekasi” adalah sebuah perjuangan yaitu pada kalimat :” Teruskan, teruskan jiwa kami”, pada kalimat itu perjuangan harus dilanjukan meskipun banyak korban yang berjatuhan. Sedang yang dimaksud dengan “jiwa kami” adalah semangat dari para pendahulu yang telah gugur di medan perang supaya dapat dilanjutkan oleh generasi yang akan datang.


PRAJURIT JAGA MALAM
Chairil Anwar

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !

1948

Siasat,
Th III, No. 96
1949


Makna Esensial : Makna yang terkandung dalam puisi Prajurit Jaga Malam yaitu menggambarkan keberanian prajurit dalam berjaga malam. “aku tidak tahu apa nasib waktu”. Maksudnya mereka tidak dapat menerka apa yang akan mereka hadapi, entah ancaman apa yang mengintai mereka ketika berjaga malam, hanya dengan bermodalkan rasa percaya bahwa suatu saat nanti mereka pasti merdeka, seperti terlihat pada baris “mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian”, itulah yang membuat mereka mampu bertahan melewati malam-malam yang suram.
Kata Kunci        : Kata kunci dalam puisi Prajurit Jaga Malam yaitu ‘aku’ karena diulang sebanyak empat kali. Kata ‘aku’ pada baris pertama dan terakhir mewakili prajurit yang berjaga malam. Sementara kata ‘aku’ pada baris ke-7 dan ke-8 mewakili sang penulis, bahwa ia kagum pada para prajurit yang melakukan jaga malam tanpa gentar, meskipun nyawa taruhannya.
Kata Inti            : Kata inti pada puisi Prajurit Jaga Malam terdapat pada kata ‘kemerdekaan’, ‘kepastian’, ‘menjaga’, dan ‘nasib waktu’. Rangkaian kata tersebut cukup mewakili puisi Prajurit Jaga Malam, demi mewujudkan mimpi-mimpinya bahwa mereka pasti merdeka, mereka pun dengan tangguh menjaga daerahnya pada malam hari sekalipun, meskipun mereka tak tahu nasib waktu, asalkan mereka telah berusaha.


DOA SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG
Oleh :
W.S. Rendra
  
Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku
Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-
Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
 
 
Mimbar Indonesia
Th. XIV, No. 25
18 Juni 1960


Makna Esensial : Makna yang terkandung dalam Puisi Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang yaitu menggambarkan permohonan ijin seorang serdadu kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk membunuh penjajah di medan peperangan demi mewujudkan kemerdekaan, karena ia tak tega melihat betapa tragisnya nasib orang-orang yang berperang, seperti terlihat di baris kelima, enam, tujuh, dan delapan:
                     anak menangis kehilangan bapa/ tanah sepi kehilangan lelakinya/ bukannya benih yang disebar di bumi subur ini/ tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia.
Kata Kunci     : Kata kunci dalam puisi Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang yaitu ‘Tuhan’, karena diulang sebanyak tiga kali, serta menjadi sentral dari puisi, karena seperti yang kita ketahui, satu-satunya tempat kita berdoa adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Kata Inti         : Kata inti pada puisi Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang terdapat pada kata ‘terbakar’, ‘menangis’, ‘sepi’, ‘dosa’, ‘mesiu’, ‘membunuh’, ‘menusukkan’, dan ‘terjajah’. Rangkaian kata-kata ini, menggambarkan kronologi kejadian dalam puisi tersebut, yaitu berawal dengan rasa iba Sang Serdadu, melihat realita di sekitarnya bahwa kota-kotanya telah terbakar, anak-anak menangis kehilangan bapaknya, sepi. Sehingga ia memohon kepada Tuhan agar diijinkan untuk membunuh, menusukkan sangkurnya, demi membela negerinya yang terjajah.



GUGUR
 Oleh :
W.S. Rendra
 
 
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya
 
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya
 
Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya
 
Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belumlagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
" Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang."
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa
 
Orang tua itu kembali berkata :
"Lihatlah, hari telah fajar !
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata :
-Alangkah gemburnya tanah di sini!"
Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya


Makna Esensial : Puisi Gugur menggambarkan seorang pejuang yang sedang dalam keadaan sekarat. Ia sangat tangguh, meskipun luka-luka di badannya, ia tak ingin dibopong menuju kota kesayangannya, Ambarawa, meskipun oleh anaknya sendiri. Ia terus merangkak menuju kota kesayangannya, namun maut menjeratnya sebelum ia sampai di kota Ambarawa. Sebelum meninggal ia berkata “yang berasal dari tanah kembali rebah pada tanah”, maksudnya yaitu kita tidak boleh sombong, karena pada hakikatnya kita semua sama, sama-sama berasal dari tanah.
Kata Kunci     : Kata kunci dalam puisi Gugur yaitu ‘ia’ karena diulang sebanyak 11 kali. Kata ‘ia’ menggambarkan seorang perwira yang berusia senja, namun tetap semangat dan pantang menyerah demi tanah air Indonesia.
Kata Inti         : Kata kunci pada puisi Gugur terdapat pada kata ‘merangkak’, ‘maut’, ‘menutup matanya’. Ketiga kata tersebut, menggambarkan kronologi kisah dalam puisi Gugur, dimana Sang Perwira dalam keadaan sekarat dan ia terus merangkak menuju Ambarawa, walau maut menghadangnya.




1 komentar:

Anonim mengatakan...

Bagus sekali Kakak... Bermanfaat banget.
Puisi angkatan '45 keren, dalem artinya - kalo bisa ngartiinya sih *gubrak*
Sekali lagi... Makasih.

Posting Komentar