1. Puisi Gadis Peminta-minta
GADIS
PEMINTA-MINTA
Karya : Toto Sudarto Bachtiar
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemanjaan riang
Duniamu yang lebih tinggi dari menara Katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku
Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu tak ada yang punya
dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda.
Analisis puisi Gadis
Peminta-minta :
Puisi
Gadis peminta-minta terdiri atas empat bait dan enam belas larik/baris.
Pada
bait pertama digambarkan bahwa si penyair merasa kasihan/ iba kepada pengemis.
Hal tersebut dapat dilihat pada larik yang berbunyi “senyummu terlalu kekal untuk kenal duka”. Pada larik tersebut dikatakan bahwa senyum si pengemis yang tidak
pantas mengenal duka artinya si pengemis tidak seharusnya menderita.
Selanjutnya pada larik yang berbunyi “tengadah padaku, pada bulan merah jambu”.
Larik tersebut menggambarkan si pengemis yang meminta (sedekah) kepada
orang-orang yang mampu (kaya) dengan harapan untuk diberi sedekah. Karena
berdasarkan hasil analisis saya kata-kata bulan
merah jambu diisyaratkan sebagai orang yang mampu, yang mempunyai perasaan seperti yang telah
kita ketahui bahwa pink/ merah jambu merupakan warna yang menggambarkan
kelembutan.
Sedangkan pada larik terakhir pada bait
pertama “Tapi kota ku jadi hilang, tanpa
jiwa”. Menggambarkan bahwa kota/ tempat tinggal penyair/ dunia akan terasa
hilang/ tak ada artinya tanpa jiwa. Jiwa berarti si pengemis.
Pada
bait kedua tersirat makna bahwa si penyair ingin merasakan bagaimana kehidupan
si pengemis yang tinggal di bawah jembatan, yang hidup berangan-angan, yang
gembira dari kepalsuan (si pengemis bisa merasa gembira padahal hidupnya tak
menentu).
Bait
ketiga menggambarkan rasa bangga si penyair kepada si pengemis. Hal tersebut
terliahat pada larik yang berbunyi “Duniamu
lebih tinggi dari menara katedral”
Seperti yang telah
kita ketahui menara katedral merupakan menara sebuah gereja , yaitu gereja
katedral. Dan tentunya menara tersebut tinggi. Dalam hal ini dapat dikaitkan
dengan kehidupan si pengemis, misal dalam hal berbagi kepada sesama, rasa
kebersamaan yang tinggi, kesabaran dan ketabahan dalam menjalani kehidupan.
Hal- hal tersebut dapat dibandingkan dengan kehidupan orang-orang yang mampu,
apakah iya orang-orang yang mempunyai kelebihan dalam materi semunya bisa
bersifat demikian??. Dilanjutkan dengan larik-larik berikutnya yang menggambarkan
kehidupan pengemis yang tentunya sangat jauh dengan kehipuan kita sebagai orang
yang mempunyai kelebihan materi. Namun, walupun demikian si pengemis tetap
sabar dan tabah dengan semua itu.
Dua larik terakhir
pada bait ketiga menggambarkan ketidaktegaan si penyair melihat kehidupan
tersebut seperti yang digambarkan di atas sehingga penyair merasa bahwa si
pengemis tak bisa ikut menanggung kesedihan si penyair.
Pada
bait terakhir menggambarkan imajinasi penyair bahwa jika si pengemis tak ada di
dunia ini maka di mana tempat kita bercermin ? Artinya dengan adanya mereka
kita akan menyadari bahwa masih ada orang lain di bawah kita yang tak mampu
hidupnya. Jadi kita dapat bersyukur dengan anugerah yang diberikan Tuhan kepada
kita.
Amanat
yang disampaikan oleh penyair yang dapat saya tangkap adalah bahwa kita sebagai
umat manusia harus saling tolong-menolong, perhatikan mereka; orang yang tak
berkecukupan dalam hidupnya. Karena dengan adanya mereka seperti yang tersirat
dalam bait terakhir bahwa dengan adanya/ hadirnya mereka kita dapat lebih
menghargai hidup. Bahasa sederhananya “masih ada orang di bawah kita”.
2.
Puisi Perempuan-Perempuan Perkasa
Karya : Hartoyo Andangjaya
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, dari manakah mereka
ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta pagi terjaga
sebelum hari bermula dalam pesta kerja
Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta, kemanakah mereka
di atas roda-roda baja mereka berkendara
mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota
Perempuan-perempuan perkasa yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
mereka : cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Analisis
puisi Perempuan-perempuan Perkasa:
Puisi Perempuan-perempuan Perkasa terdiri
atas tiga bait. Bahasa yang digunakan cukup sederhana suhingga mudah dipahami.
Bait
pertama menggambarakan kehidupan para ibu-ibu desa/ pekerja. Seperti yang
tersirat pada larik-larik tersebut yang mengatakan bahwa para perempuan pekerja
yang pergi mencari nafkah di pagi-pagi buta.
Bait
kedua pun sama namun lebih ditekankan bagaimana sang perempuan-perempuan
tersebut berlomba dengan sang surya, merebut hidup di kota à
artinya perjuangan sang perempuan pekerja yang mempunyai banyak saingan baik
dari teman-temannya sendiri maupun dari orang lain.
Bait
ketiga menggambarkan kebanggan si penyair kepada perempuan-perempuan pekerja.
Terlihat pada larik yang berbunyi “mereka ialah ibu-ibu berhati baja,
perempuan-perempuan perkasa”. Dari larik tersebut menggambarkan bagaimana
kekuatan sang perempuan-perempuan dalam mengarungi hidupnya; hidup keluarganya;
perempuan tersebut mampu menjadi tulang punggung keluraga.
Amanat
yang disampaikan dalam puisi tersebut adalah kita harus menghargai perempuan. Hal
tersebut dapat dilihat dari setiap larik-larik pada bait puisi tersebut. Dimana
dalam perjuangan hidupnya, perempuan-perempuan tersebut tidak mengenal waktu
seperti yang tersirat dalam larik “sebelum peluit kereta pagi terjaga” dan
larik-larik lainnya. Selain itu keseluruhan puisi tersebut menggambarkan : perempuan-perempuan perkasa itu
adalah perempuan-perempuan yang berasal dari rakyat jelata , perempuan
teladan, mereka berjuang mencari nafkah tanpa mengenal lelah, mereka menjadi
tumpuan hidup penduduk desa perbukitan, bahkan sampai ke kota-kota sekitarnya.
3. Puisi
Orang-Orang Miskin
Orang-orang Miskin
Karya: W.S Rendra
Orang-orang
miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.
Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.
Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu
akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka
akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim
Analisis
puisi Orang-orang Miskin :
Puisi tersebut terdiri atas
delapan bait. Bahasa yng digunakan/ pilihan katanya terkadang sulit untuk
dipahami namun jika kita bisa menghubungkannkya dengan makna leksikal dan
gramatikal/ konotasinya maka kita akan dapat memahaminya.
Bait
pertama menggambarkan kehidupan orang-orang miskin. Hal tersebut sudah jelas
dalam setiap larik yang ada pada bait tersebut. Pada larik terakhir penyair
menekankan kepada pembaca atau pendengar bahwa kita tidak boleh meninggalkan
mereka.
Berikut saya mencoba
menganalisis larik demi larik pada puisi tersebut:
Orang-orang miskin di
jalan à
terdapat orang-orang miskin di jalan
yang tinggal di dalam
selokan à
dapat diartikan sebagai tempat tinggal orang-orang miskin yang tinggal di
kolong jembatan.
yang kalah dalam
pergulatan à
orang-orang miskinlah yang selalu kalah dalam pergulatan yang ada; hal ini
menandakan orang yang ekonominya lebih tinggi akan lebih unggul dari
orang-orang yang ekonominya lemah.
yang diledek oleh
impian à
menggambarkan bahwa orang-orang miskin hanya bisa bermimpi dan tidak akan bisa
mencapai impiannya. Misal dalam hal keberuntungan mereka jarang sekali
mendapatkan keberuntungan berbeda dengan orang yang berada di atas mereka
tentunya lebih sering mendpatkan keberuntungan.
Bait
kedua menggambarkan hal yang sama yaitu bagaimana kehidupan orang-orang miskin.
Berikut adalah hasil analisis dari setiap larik yang ada;
Angin membawa baju
mereka à
makna yang tersirat yaitu menyatakan bahwa orang miskin itu banyak jumlahnya;
dapat dianalogikan dengan angin yang membawa bau baju. Seperti kita ketahui
angin itu ada di mana-mana dan jika ia membawa sesuatu tentunya kita akan
merasakannya.
Rambut mereka melekat
di bulan purnama à
larik ini tentunya berhubungan dengan larik sebelumnya. Jadi karena orang
miskin itu banyak, penyair menggambarkan mereka sampai pada bulan/ langit yang
dianalogikan sebagai rambut yang dapat melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting
berbaris di cakrawala, mengandung buah jalan raya à
berdasarkan hasil analisis, saya mengatakan bahwa orang miskin yang mengandung
anak-anaknya yang nantinya juga akan menjadi orang miskin juga yang tinggal di
jalan-jalan sama seperti sang ibu yang
mengandungya. Sehingga orang miskin semakin banyak populasinya.
Bait
ketiga pun sama dengan bait pertama dan kedua. Berikut analisis larik per
larik:
Orang-orang miskin.
Orang-orang berdosa à
seperti yang terlihat dalam realita banyak orang miskin yang memenuhi kebutuhan
hidupnya dengan melakukan dosa. Dalam puisi tersebut dosa tersebut diisyaratkan
dengan perempuanyang menjual dirinya dalam
hal ini lebih jelasnya tersirat pada larik kedua pada bait ketiga.
Bayi gelap dalam
batin. Rumput dan lumut jalan raya à sepeti yang sudah disinggung pada larik
pertama tadi yang menyatakan perbuatan dosa yang dilakukan oleh orang miskin
yang menjual dirinya tentunya akan membuahkan bayi gelap dalam batiny yang
dianalogikan sebagi dosa dan kata-kata rumput dan lumut jalan raya
mengisyaratkan tempat mereka hidup/ mangkal.
Pada larik terakhir
penyair menekankan agar kita tidak mengabaikan mereka, karena kita sama-sama
manusia.
Bait
keempat menggambarkan balasan/ akibat jika kita tidak memperdulikan mereka/
orang miskin.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan à
menggambarkan bahwa kita akan diburu oleh dosa.
Tidurmu akan penuh igauan dan bahasa
anak-anakmu sukar kamu terka à
menggambarkan bahwa kita tidak akan tenang karena merasa bersalah kepada orang
miskin.
Bait
kelima meggambarkan kehidupan si miskin dan si kaya. Terlihat jelas pada setiap
larik yang ada. Misal pada larik “jangan bilang dirimu kaya bila tetanggamu
memakan bangkai kucingnya”
Pada larik “lambang negara ini mestinya
trompah dan balcu à
artinya karena negara kita masih terdapat orang miskin/ meningkatnya kemiskinan
maka trompah dalah lamabang yang teppat karena seperti yan telah kita ketahui
terompah merupakan alas kaki yang terbuat dari kayu, dan alas kaki tentunya
selalu berada di bawah artinya negara kita seakan-akan berada di bawah garis
negara-negara berkembang lainnya. Sedangkan belacu menggambarkan kelemahan,
karena blacu merupakan sebuah kain. Seperti kita ketahui kain itu lembek, tak
bisa kaku; jika dianalogikan dengan negara kita maka negara kita tidak bisa
berdiri sendiri tanpa bantuan dari negara lain jadi masih lemah. Sehingga berdampak
pada kehidupan penduduknya; meningkatnya kemiskinan.
Bait
keenam menggambarkan kehidupan orang miskin lagi yang diakhiri dengan pesan
agar kita tidak boleh membiarkan mereka; harus peduli.
Bait
ketujuh menyatakan bahwa kemiskinan itu benar-benar selalu menghantui kita,
malah dapat dikatakan merajalela.
Begitu
pula bait kedelapan yang menggambarkan kemiskinan itu sudah ada sejak zaman
dahulu sampai sekarang. Namun walupun demikian kita harus tetap berbelas kasih
kepada mereka karena kita adalah manusia ciptaan Tuhan yang sama. Hal ini
tersirat pada larik terakhir yaitu “orang-orang miskin juga bersal dari kemah
Ibrahim”.
4. Sajak Burung-Burung Kondor
Sajak Burung-Burung Kondor
Karya: W.S. Rendra
Angin gunung turun merembes
ke hutan,
lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas,
dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.
Kemudian hatinya pilu
melihat jejak-jejak sedih para petani – buruh
yang terpacak di atas tanah gembur
namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.
Para tani – buruh bekerja,
berumah di gubug-gubug tanpa jendela,
menanam bibit di tanah yang subur,
memanen hasil yang berlimpah dan makmur
namun hidup mereka sendiri sengsara.
Mereka memanen untuk tuan
tanah
yang mempunyai istana indah.
Keringat mereka menjadi emas
yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.
Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,
para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,
dan menjawab dengan mengirim kondom.
Penderitaan mengalir
dari parit-parit wajah rakyatku.
Dari pagi sampai sore,
rakyat negeriku bergerak dengan lunglai,
menggapai-gapai,
menoleh ke kiri, menoleh ke kanan,
di dalam usaha tak menentu.
Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,
dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,
dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.
Beribu-ribu burung kondor,
berjuta-juta burung kondor,
bergerak menuju ke gunung tinggi,
dan disana mendapat hiburan dari sepi.
Karena hanya sepi
mampu menghisap dendam dan sakit hati.
Burung-burung kondor
menjerit.
Di dalam marah menjerit,
bergema di tempat-tempat yang sepi.
Burung-burung kondor
menjerit
di batu-batu gunung menjerit
bergema di tempat-tempat yang sepi
Berjuta-juta burung kondor
mencakar batu-batu,
mematuki batu-batu, mematuki udara,
dan di kota orang-orang bersiap menembaknya.
Analisis
puisi Sajak
Burung-Burung Kondor :
Puisi tersebut terdiri atas delapan bait.
Diksi/ pilihan katanya ada yang mudah
dipahami dan ada yang sulit diterka-terka apa maknanya.
Bait
pertama menggambarkan bagaimana para pekerja/ buruh yang telah menguras
tenaganya untuk banting tulang namun hasil yang ia dapatkan tak dapat
memberikan kemakmuran baginya. Hal tersebut semakin diperjelas pada larik
terakhir bait tersebut.
Bait
kedua pun masih mengisahkan kehidupan para pekerja/ buruh yang tetap sengsara
dengan hasil panen mereka yang berlimpah. Hal tersebut terlihat bertolak
belakang, padahal seharusnya mereka mendapatkan hidup yang makmur bukan
sengsara.
Bait
ketiga menggambarkan bahwa yang membuat mereka; pekerja/ buruh sengsara adalah
karena mereka memanen untuk tuan tanah, jadi bukan untuk dirinya sendiri. Hal
tersebut jelas terlihat pada setiap larik pada bait tersebut.
Bait
keempat menggambarkan bagaimana penderitaan rakyat; pekerja/ buruh yang
diakibatkan oleh para tuan tanah; orang yang mempekerjakannya. Seperti yang
terlihat pada larik kedelapan sampai terakhir dalam bait tersebut;
“Di hari senja mereka
menjadi onggokan sampahӈ
artinya tak akan ada yang mempedulikan mereka lagi ketika mereka sudah tidak
berguna (dilukiskan dengan kata-kata ‘di hari senja’).
Bait
kelima menggambarkan kehidupan rakyat; pekerja/ buruh yang dianalogikan sebagai
burung-burung kondor. Pada realitanya burung-burung kondor sering diburu oleh
para manusia. Jika dihubungkan dengan puisi tersebut maka akan didapatkan bahwa
‘burung kondor = rakyat; pekerja/ buruh’ dan ‘manusia pemburu = para
cukong-cukong negara; tuan tanah’.
Bait
keenam mengisahkan tentang rakyat; pekerja/ buruh yang meluapkan perasaannya;
marah. Namun luapan perasaan itu hanya bergema di tempat sepi maksudnya tidak
di dengar oleh para cukong/ tuan tanah.
Bait
ketujuh sama dengan bait keenam.
Bait
kedelapan/ terakhir menceritakan tentang rakyat; pekerja/ buruh yang bekerja
keras membanting tukang namun hanya untuk para cukong/ tuan tanah/ para
pembesar. Dalam puisi tersebut digambarkan dengan ‘Berjuta-juta burung kondor
mencakar batu-batu’ dan seterusnya. ‘batu = benda keras ; pekerjaan rakyat yang
keras; menguras tenaga.
5. Puisi Rakyat
Rakyat
Karya : Hartoyo Andangjaya
Rakyat ialah kita
jutaaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja
Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka
Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka
Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang beringat
gunung batu berwarna coklat
di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semesta
Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang mas
Analisis
puisi Rakyat :
Puisi tersebut terdiri atas lima bait.
Pilihan kata/ diksi yang digunakan oleh oenyair dapat dipahami dengan mudah.
Puisi tersebut menceritakan tentang
kehidupan rakyat yaitu siapakah rakyat itu Bagaimana kehidupan rakyat ? Apa
yang dilakukan oleh rakyat ? Hal tersebut jelas digambarkan penyair dalam
setiap larik pada bait-bait yang ada. Diksi/ pilihan kata yang digunakan oleh
penyair mudah dipahami; sederhana. Dalam setiap larik puisi menggambarkan
pekerjaan yang dilakukan oleh rakyat seperti pada larik-larik yang diambil
secara acak berikut:
mengepulkan
asap dari cerobong-cerobong pabrik di kota à rakyat yang bekerja di pabrik.
Menaikkan
layar menebar jala à
rakyat yang pekerjaannya sebagai nelayan.
meraba
kelam di tambang logam dan batu bara à rakyat yang bekerja di pertambangan;
buruh tambang.
yang
bergerak di simpang siur garis niaga à rakyat yang berdagang.
Secara keseluruhan puisi tersebut
mengisahkan rakyat itu adalah penguasa yang ada di muka bumi ini. Hal tersebut
jelas terpatri pada larik yang berbunyi “darah di tubuh bangsa’ debar sepenjang
masa”.
Amanat yang disampaikan yaitu
kekuasaan berada di tangan rakyat. Sehingga kita akan dapat mengetahui rakyat
itu adalah seperti yang digambarkan penyair pada setiap larik puisinya.
Amanat yang terkandung dalam puisi yang bertemakan sosial
Kelima puisi yang dianalisis tersebut di
atas memiliki tema yang sama yaitu sosial. Namun setiap puisi tentunya memiliki
perbedaan dalam penyampaian makna. Hal tersebut sesuai dengan otoritas penyair/
pengarang, sehingga menimbulkan sub tema-sub tema tertentu. Akan tetapi karena
kelima puisi tersebut berada dibawah naungan tema sosial maka dapat kita tarik
suatu hal yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh para penyair. Puisi yang
bertemakan sosial selalu menyampaikan hal-hal yang tentunya berhubungan dengan
kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat lapis sosial;
kaya-miskin. Sehingga tidak heran sering terjadinya perselisihan antara
masyarakat yang satu dengan yang lainnya.
Kelima puisi tersebut di atas menggambarkan
kehidupan masyarakat yang dilatarbelakangi oleh perbedaan ekonomi; kaya-miskin.
Para penyair berusaha untuk menyadarkan kita agar kita bisa saling menghargai,
tolong-menolong, dan peduli terhadap sesama. Walaupun kita berbeda namun kita
tetap merupakan manusia yang sama di hadapan Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar